Friday, February 8, 2008

Sentuh

Sentuh

Ketika bayi lahir, sentuhan kita kepadanya mungkin membuat kita menitikkan air mata. Begitu halus karunia yang datang dari Yang Kuasa. Jari – jari mungil merah karena kulit yang begitu tipis. Masih baru. Tapi apakah yang bayi rasakan? Apakah sama dengan rasa bangga yang didapat oleh orang tuanya dengan rasa kasih berlebih yang sangat dalam? Tidak menutup kemungkinan juga jijik yang amat sangat yang mungkin bayi mungil itu tidak mengerti rasa apa itu. Dan dia tetap bertanya – tanya dalam kebutaan sementaranya.

Tetapi apa yang terjadi ketika bayi itu beranjak dewasa dan sudah tahu atau mengalami makna persentuhan melalui sebuah rentang proses waktu? Melalui sebuah pendidikan yang tak sadar ataupun dari kebiasaan yang tercipta dari kebudayaan manusia selama ini sehingga menjadi baku atau patokan. Atau bisa jadi dari sifat primitif manusia yang bisa disebut binatang dalam disiplin ilmu tertentu. Makna dalam persentuhan dengan bunda atau ayah mungkin kita semua sudah pahami. Itu adalah cinta yang terjalin dengan dekskripsi jelas. Anak – ayah – anak – bunda. Hubungan darah yang susah berpisah.

Dengan sesama jenis tak kita pungkiri lagi mayoritas khalayak disini yang relatif normal, dan sudah mengerti arti sentuhan antar sesama. Gelagak rasa beda mungkin terasa oleh kaum – kaum marjinal yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh persen dari jumlah manusia di bumi. Lesbi dan homo. Tapi gelegak apa yang kita rasa bila bersentuh dengan lawan jenis? Apalagi bila kita punya rasa. Disini tak perlu kita bicara bila kita tak punya rasa bukan? Sentuh itu tidak punya arti dan berlalu begitu saja dan akan lupa kemudian larut dalam waktu.

Sentuh itu begitu bermakna, dengan gejolak yang tak terdekskripsi seperti menumpahkan pikir ke dalam bentuk kata. Sentuh menjadi memiliki nilai yang begitu tinggi dan mempunyai label harga yang sangat mahal untuk didapat atau diraih. Seperti label harga di toko – toko lantai dasar Plaza Senayan. Dimana momen – momen itu tidak setiap saat kita dapat. Hal itu lumrah untuk diimpikan dengan ungkapan dan perilaku yang tidak cukup untuk membuktikan. Tapi pembelajaran bisa kita dapat dan usahakan bagi kita yang menyimpan dan menyembunyikan. Merasa dengan tidak menyentuh. Bisa kita coba sensasi itu. Dengan cukup hanya pandangan dan bicara dan diakhiri dengan diam.

Tanpa maksud merendahkan pelacur yang bersentuh karena suatu yang bisa jadi paksaan dari suatu kebutuhan materi dari dalam dirinya. Dimana sentuhnya tidak berarti baginya, bahkan proses penyatuan badannya dia lewati seadanya tanpa memaknai apa itu arti sentuh bagi dirinya sendiri karena dia sudah membuat tendensi antara saraf sentuhnya dengan hatinya yang dia lelapkan. Dia tidak mau lebih dari suatu urusan bisnis badan.

Disini arti sentuh kita memiliki apresiasi yang begitu tinggi. Karena dia berharga dan pantas untuk mempunyai harga. Karena rasa bermain di dalamnya. Salah apabila sentuh itu berkait dengan nafsu karena pelacur pun tidak memakai nafsu. Pengguna pelacur yang memuja nafsu disini. Paling tidak kita bisa saling percaya bahwa sentuh kita bukan sentuh lacur yang membawa kemalangan dan tidak mau itu terulang.

Dimana sentuh memiliki arti? Ke bunda, ayah, saudara, sahabat, terkasih, bahkan ke pelacur? Asal tidak membawa buntut seperti yang diungkapkan sebelumnya. Nafsu. Karena akan menjadi lacur dan menjadi pengalaman yang mahal harganya.

No comments: