Wednesday, February 6, 2008

Indonesia Punya Bahasa?

Indonesia Punya Bahasa?

Indonesia punya bahasa? Pada tanggal 28 Oktober 1928 diadakan kongres sumpah pemuda. Salah satu hasil kesepakatannya bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Di waktu yang sudah jadi sejarah itu pemuda berikrar bahwa kita berbahasa satu bahasa indonesia. Tapi pengertian yang mempunyai wujud untuk menyatukan itu sudah mulai bergeser sangat jauh, bahkan tersingkir dipojokan gelap. Lihat kita sekarang, dengan bangganya berbahasa asing. Reklame – reklame yang menggunakan bahasa dari ibu orang lain dengan tujuan menarik minat dan berujung pada ”keuntungan”, belum lagi judul – judul film, foto,semboyan trade mark merk, apa bahasa indonesia tidak mampu mengartikannya? Sering kali kita bertegur sapa dengan sahabat ” what’s up bro!”, ” hai, man!”. Kebanggaan yang berujung pada geleng – geleng kepala rombongan 1928 bila mereka masih ada. Dengan susah payah mengumpulkan manusia – manusia bersuku beda dengan tujuan menyatukan persepsi yang berujung pada kata ”MERDEKA...!”. dengan titik awal meniadakan kata urang, awak, kulo, beta menjadi satu kata ”aku” yang berlaku untuk seluruh indonesia. Perlu kita ingat mereka tidak sedang berwisata keliling – keliling kota. Begitu sombongnya kah kita? Sampai lupa akan pentingnya sebuah bahasa indonesia? Padahal itu bahasa persatuan kita yang telah disempurnakan dengan ejaan yang telah disempurnakan (EYD) oleh ahli – ahli bahasa negeri ini. Tentu saja kita tidak lihat mereka berdebat – debat untuk memperoleh makna dari sebuah kata yang bertujuan untuk lebih sempurna dan tidak boros huruf. Memang kita sangat terbuka dengan apa itu pengaruh. Tapi apa kita tidak bisa memilih? Memilah? Seakan – akan semua yang dari luar bagus? Apa disini tidak ada yang baik? Yang bisa kita banggakan? Di suatu proyek besar bangunan tinggi dua puluh delapan lantai. Pekerja – pekerja kasar dengan peluh – peluh keringat yang mendekati bau tak sedap bercanda dengan teman seprofesinya di dalam alimax yang sedang naik turun melayani pekerja. Mereka menggunakan bahasa daerah masing – masing yang bisa diketahui darimana mereka berasal, kaum urban-isasi yang cari makan di kota metropolis mengkilap. Walaupun hanya terdengar dua bahasa daerah di telinga yang asing ini yaitu bahasa sunda yang ramah tapi terdengar capek ingin segera turun beristirahat dan bahasa jawa yang kesal karena menunggu alimax terlalu lama padahal ingin cepat turun karena perut lapar dan udara sudah semakin menggerahkan kulit. Mereka tidak keluar dari ke Indonesiaannya yang mungkin tidak begitu mereka banggakan. Atau tidak bisa keluar dari keindonesiaannya? Padahal ingin keluar buru - buru. Paling tidak mereka tetap mengindonesiakan indonesia. Walaupun terpaksa dan tak tahu. Zaman memang tidak bisa dilawan. Bahasa asing itu wajib hukumnya menyambut globalisasi. Dimana kita harus menginternasional kan diri kita sendiri agar laku di pasar. Tetapi tetap bahasa itu hanya tamu di rumah kita. Dimana dia tetap menjadi makhluk kelas dua karena kita sudah punya bahasa sendiri. Bukan menjadi anak gaul di kampung orang. Yang bisa dipukuli kalau songong, cengos, palontong. Bahasa tidak menaikkan harkat dan martabat manusia karena fungsinya sebagai alat komunikasi yang normatif. Bahasa adalah identitas, darimana kita berasal. Yang pasti indonesia punya bahasa ibu. Yang wajib dihargai? Atau tidak sama sekali?

1 comment:

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.