Thursday, December 18, 2008

bencong kota



nikmat sekali menikmati jakarta. ada bencong badannya gede keliling kampung. orang - orang ada yang takut ama ketawa. mbak di foto ini ngasi duit sambil cengengesan. ternyata kota membentuk manusia hingga berubah bentuk. coba kita bandingin di desa. apa ada yang kayak beginian? jakarta oh jakarta. katanya keras, tapi yang pasti ngangenin.

Tuesday, December 9, 2008

Three kings

ada 4 tokoh utama pada film ini. Yang saya ingat hanya archie dan troy barlow. Empat orang tentara amerika yang mencari emas yang dirampas saddam dari Kuwait. Awal ceritanya sederhana, hanya ego empat orang yang ingin kaya dengan mengambil emas batangan tersebut untuk dibagi bagi mereka sendiri. Agar mereka bisa beli lexus dan infiniti dengan atap terbuka. Rencana mereka tidak muluk. Pergi dipagi hari tanpa ketahuan komandan, mengambil emas tersebut di bunker yang terselubung dekat kota karbala, kemudian kembali ke markas di siang harinya dengan menyembunyikan emas tersebut untuk dibawa pulang nantinya ke amerika setelah tugas selesai. Mereka kaya raya. Itu impian mereka.
Syahdan, misi mereka yang ternyata mudah menjadi rumit. Pertemuan mereka dengan sebuah kelompok yang “disalahkan”, hanya terdiri dari anak –anak, ibu – ibu, dan orang tua. Hati mereka terketuk. Robek – robek karena melihat kenyataan didepan mata mereka. Cerita ,menjadi semakin rumit karena emosi mereka terlibat didalam misi mereka, resah, kasihan dan keinginan untuk menegakkan keadilan.
Akhir cerita ini menjadikan mereka yang awalnya prajurit licik dan egois, menjadi pahlawan. Saya rela begadang untuk mengetahui akhir cerita film ini. Sungguh ironi di irak. Sedih, lucu, konyol, kaget, seru, campur aduk.
Analogikan saya yang pada realitanya seorang pelajar arsitektur menjadi prajurit tersebut. Awalnya hanya asik bermain – main dengan senjata berupa konsep. Senjata saya banyak, simbiosis, sustainable, green, decon, tinggal saya pilih untuk ditembakkan ke mana – mana. Kemudian saya melihat kampung yang runyam, berantakan, porak – poranda. Awalnya saya hanya ingin menggusur kampung tersebut untuk dibuat menjadi apartemen kelas menengah dengan senjata saya. Wuidih…..dengan modal senjata saya yakin bisa membuat apartemen ini ramah lingkungan.
Tapi saya berubah pikiran untuk merubah kampung itu menjadi yang diinginkan penduduk kampung itu tanpa melihat lagi identitas saya berada dimana, developer atau marjinal? Saya sendiri bingung.
Tapi alangkah indahnya film itu. Jagoan selalu menang dengan caranya yang elegan dan bantuan dari berbagai macam orang. Berawal dari pertemuan berakhir dengan menyenangkan dan mengharukan. Tanpa melihat lagi ongkos yang dikeluarkan.
Tapi sekali lagi. Itu cuma difilm.
Tinggal kita buat itu nyata

Monday, November 24, 2008

BUKAN PINTU



partisi pembatas wudhu di rumah sakit setia mitra. membuat saya bertanya. apakah desain ini memang salah sehingga diperlukan penanda normatif agar pengguna tidak mengira ini pintu? apakah ini benar - benar kegagalan desain? saya benar - benar terganggu.

Friday, November 21, 2008

GSB?



foto ini saya ambil dibelakang plaza semanggi. lebih tepatnya didekat parkiran motor mall tersebut. daerah tersebut merupakan jalan pintas bagi kendaraan roda dua menuju jalan jendral sudirman dari jalan let.jend. gatot subroto. dari foto diatas dapat dilihat rumah sama sekali tidak memiliki GSB (Garis Sempadan Bangunan). keselamatan didalam rumah sedikit terancam karena jalan didepan sering dilalui kendaraan bermotor. resapan air di daerah ini juga menjadi berkurang. inilah dampak dari perencanaan kota yang tidak terencana.

Monday, November 3, 2008



i take this picture from roxy square at west jakarta. look at the dwelling beside cideng river. we can see density at there from that picture. how if we built high rise building for living at there to replace this area and make more quality living at there to support a goverment program about 1000 tower apartement for middle-lower? it can, i now and i hope.

AC

Air Conditioner, apabila di Indonesiakan bernama Pendingin Udara. Alat ini sudah menjadi menu utama dalam menjawab masalah banjir matahari di iklim tropis. Masyarakat modern mengganggap ini adalah cara tercepat untuk menyelesaikan masalah kenyaman thermal didalam ruang. Karena apabila terjadi kenaikan suhu satu derajat saja didalam ruang, kita bisa mengendalikan suhu melalui remote dengan menurunkan suhu untuk mencapai kenyamanan suhu yang kita inginkan.
Tapi tidak sadarkah kita? Kenyaman ruang yang kita dapat dengan sangat cepat dari AC ternyata menjauhkan kita dari realitas bahwa kita memang hidup di daerah tropis? Dampaknya pada desain arsitektur adalah terbentuk desain – desain yang berani menantang matahari, hujan dan kelembapan. Imbas terkini adanya trend desain minimalis. Wuidih…….! Desain yang berakar dari Zen Budhisme ini disalah artikan di Indonesia. Beban berat bagi bangunan itu untuk melawan alam tropis Indonesia.
Manusia, khususnya yang berada dalam taraf mampu, mengalami ketergantungan yang amat sangat terhadap AC. Sehingga rumah atau bangunan dengan fungsi publik seperti kantor, museum, mall, dan lain – lain dibangun dengan begitu sombongnya terhadap alam. Desain sangat berani bertubrukan dengan panas dan hujan sehingga akibat yang dirasakan adalah tagihan listrik meningkat. Alam, tanpa kita sadari memiliki energi perusak yang lebih besar dari manusia loh…! Kita, tanpa sadar menggerogoti keseimbangan terhadap alam.
AC memang menghasilkan udara sejuk didalam ruang, tapi mesin pendingin udara juga menghasilkan panas akibat energi yang terbuang. Panas tersebut ditampung di lingkungan sekitar dan menyebabkan panas mikro di sekitar mesin ac. Itu baru di satu mesin pendingin udara. Bayangkan rata – rata satu rumah memiliki tiga pendingin udara. Kita makrokan lagi, dikawasan perumahan tersebut terdapat seribu rumah yang memakai tiga pendingin udara. Berarti ada tiga ribu mesin pendingin udara yang aktif. Kemudian di kawasan tersebut terdapat empat kawasan perumahan, berarti ada dua belas ribu mesin pendingin udara aktif yang kesemuanya selain menyumbangkan kesejukan udara bagi ruang didalam rumah juga menyumbangkan panas bagi lingkungan sekitar. Itu belum termasuk kawasan perkantoran di Sudirman dan Thamrin dan masih banyak lagi kawasan bisnis di Jakarta yang amat sangat tergantung oleh AC. Itu belum kita kalkulasikan dengan keseluruhan bangunan di Jakarta yang memakai AC, itu juga belum daerah – daerah lain seperti Bandung, semarang, Surabaya, Sidoarjo, Klaten, Sragen, New York, Dubai, dan kota – kota yang lain. Berarti kita tidak boleh mengeluh kenapa udara Jakarta bertambah panas kan? Lepas dari isu pemanasan global, yah kita – kita juga sebagai arsitek menyumbangkan panas karena desain kita yang sombong.
Jadi secara langsung mesin AC juga menjadi penyumbang panas langsung secara makro bagi Jakarta, karena manusia lebih memilih teknologi yang tidak dapat dipungkiri sangat mensejahterakan manusia bernama AC, daripada desain yang tepat untuk menangkal ganasnya sinar matahari iklim tropis yang lepas dari ketergantungan energi.
Coba kita berpikir jauh kedepan. Apabila energi habis, pendingin udara pasti tidak akan ada gunanya. Apa kabar bangunan yang menantang alam tadi? Pasti tidak akan ada yang menghuni karena tidak ada pendingin udara lagi di dunia ini yang bisa dipakai, atau mungkin bangunan itu akan dibongkar untuk menyesuaikan dengan iklim tropis setempat? Kemudian bagaimana dengan bangunan yang tanggap iklim? Pastinya penghuninya tenang – tenang saja karena kenyaman suhu didalam ruang telah dia dapatkan tanpa bantuan pendingin udara.
Saya sangat setuju dengan pernyataan Bapak Ridwan Kamil, dan misi luhur Bapak Adi Purnomo. Kita harus rela berkeringat, rela berpanas – panasan, rela mandi dua kali atau bahkan tiga kali sehari untuk menghilangkan gerah.Ya karena kita hidup didaerah tropis. Selain untuk menghemat tagihan listrik karena pemakaian AC ya juga untuk memikirkan bagaimana desain yang baik bagi iklim tropis Indonesia dengan merasakan berpanas – panasan sebagai tanggung jawab kita sebagai arsitek iklim tropis, disamping juga ikut menambah area hijau pada pekarangan rumah kita tentunya. Saya mengutip dari Alvar Alto “wir brauchen die nature, die nature braucht uns nicht” (kita memerlukan alam tetapi alam tidak bergantung kepada kita). Semoga bisa menjadi tambahan pemikiran, bukan tambahan keluh kesah karena udara yang semakin hari semakin panas. Gerah ah…ngipas dulu….!

Monday, October 20, 2008

Monday, October 13, 2008

In - Telek

Intelektual mungkin sebuah ungkapan sakral tentang kecerdasan seorang individu atau juga dibarengi dengan tambahan kata kaum untuk menjelaskan bahwa jumlahnya tidak hanya satu. Tapi makna yang saya dapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai penilaian konteks yang berat ke arah positif. Sedangkan makna itu juga terdengar dalam pemberitaan tentang ”siapakah aktor intelektual pada peristiwa mei 98?” yang saya dengar dan lihat pada tayangan berita di liputan 6. Sehingga makna intelektual tertarik lagi ke arah negatif.
Tertarik saya pada pendapat To Thi Anh yang saya kutip dari bukunya ”Budaya Timur dan Barat, Konflik atau Harmoni?”:
Kaum intelek atau kaum borjuis mungkin berpikir lebih baik makan nasi dan garam saja tetapi dapat menyanyi dan tertawa daripada makan steak dan daging ayam tetapi harus tertekan oleh berbagai macam persoalan, hidup dalam terowongan tambang, pabrik dan jadi robot. Memang kaum borjuis mungkin berpikir begitu, tetapi mereka yang miskin belum. Mereka ingin mengalami, merasakan apa yang nampaknya merupakan perwujudan banyak mimpi, apapun akibatnya nanti.
Dimana kita lihat kaum intelek terbentuk bukan dari masyarakat kelas ke tiga, dimana mungkin mereka telah merasakan kesenangan dunia yang ternyata bukan jadi tujuan hidup. Tetapi kebahagiaan dalam bentuk yang lain. Nyanyi dan tawa. Ada contoh yang bisa saya beri. Chairil Anwar. Dalam buku Hari – Hari Akhir Si Penyair karangan Nasjah Djamin dapat saya simpulkan. Sang penyair yang lebih memilih hidup menggelandang meminjam uang pada Baharudin M.S. pelukis yang menjadi kepala bagian tipografi di Balai Pustaka daripada menjadi redaktur sebuah majalah. Yang pada akhirnya dia berpulang dikarenakan penyakit disentri saya kira. Dikarenakan pola hidup yang berantakan. Tetapi dia menjalani hidup penuh dengan tawa, ceria disamping kesibukannya membuat sajak. Itu pilihan hidup.
Tetapi bukan berarti secara general kita menghakimi kaum intelek seperti itu mungkin. Mahatma Gandhi lebih memilih jalan damai dalam memperjuangkan kemerdekaan di India bukan? Dan ia saya kira juga merupakan kalangan atas india karena dia pernah menjadi mahasiswa dan menemukan ketimpangan pada bangsanya yang terjajah. Sama seperti tokoh minke yang diambil dari kehidupan Tirto Adisuryo karangan Pramoedya Anantha Toer dalam Tetralogi Burunya dan mungkin juga Bung Karno.
Tanggung jawab terhadap kaum miskin bagi kaum intelektual? Itu bukan total tanggung jawab kaum intelek. Mungkin semua. Karena mereka mengerubungi kita seperti lalat. Dari muda sampai tua. Lagipula kaum miskin tidak hanya kaum miskin kota seperti yang dikumandangkan pada demonstrasi. Mereka bergentayangan dari sabang sampai merauke. Bisa jadi sampai ke laut dalam yang hampir lepas.
Sebutan intelektual terdengar renyah ditelinga. Membuat kita terlena dan hampir mengudara. Padahal dibalik sebutan indah itu beban begitu nanar dan meronta minta ratu adil datang. Tapi yang pasti tidak semua bisa disebut intelektual walaupun kita berada didalam kubangan mahasiswa yang saya pikir lebih pantas disebut pelajar. Karena pilihan hidup begitu banyak rupanya. Tinggal memilih yang mana.
Intelektual. Begitu manis.
Tapi berbau seperti telek, bila disalah guna.

Thursday, September 25, 2008

Kupu – Kupu Metamorfosa Hinggap di Kolong Jembatan

Pada tanggal 25 juli 2008 sampai dengan 27 juli 2008 merupakan hari puncak kelelahan maksimum mahasiswa Arsitektur Universitas Trisakti. Hari itu merupakan pembuktian ide kreatif mahasiswa kepada masyarakat akan alternatif ruang publik yang dibutuhkan Jakarta, yang dirasa sangat mendesak. Jakarta terlalu diserbu oleh bangunan – bangunan komersil yang menghilangkan ruang bermain dan berinteraksi masyarakat kota. Metamorfosa berusaha untuk menjadi embrio untuk memberi wacana kepada masyarakat bahwa pasti ada ruang kota yang dapat dimanfaat selain hanya berupa taman dan tanah lapang.
Awalnya memang hajatan ini mau digelar di Taman Menteng yang bekas berdirinya Stadion Menteng, tapi setelah dipikir – pikir lagi ternyata enggak asik ngadain acara ditempat yang sudah bagus dan berfungsi sebagai ruang publik. Jiwa muda kami berontak. Mana tantangannya? Selain itu kita juga menghormati para penggila bola di Jakarta yang marah karena stadion bersejarah ini dirubah menjadi taman, khususnya pada Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, dan Ponaryo Astaman kapten kesebelasan Indonesia sekarang. Membangun ruang publik kan tidak harus mengorbankan sejarah. Bener ga?
Setelah kami berpikir, ngelamun, dan pegal karena sambil jongkok berjejer memikirkan Jakarta akhirnya keluarlah ide tentang kolong jembatan. Kenapa kolong jembatan? Semua berawal dari keberadaan flyover di Jakarta. Nah gini nih ceritanya, baca terus ya!
“Fly over dipergunakan untuk mengurangi kemacetan dengan menaikkan jalan ke atas, biasanya berada diperempatan jalan atau jalan – jalan utama tetapi dengan lebar yang tidak mencukupi untuk diakses begitu banyak kendaraan sehingga terjadi kemacetan (contoh paling gres fly over didepan ITC Roxy). Akan tetapi ada yang tidak diperhatikan dan tanpa kita sadari menjadi ruang percuma, padahal hampir setiap hari kita melintasi dan menyisiri fly over. Ruang tersebut memiliki potensi karena berada ditengah kota sehingga nilai (values) dari ruang tersebut sangat tinggi dan dapat dikembangkan, akan tetapi ruang ini seringkali berkonotasi negatif. Kolong jembatan.
Kolong jembatan di Jakarta banyak dipergunakan oleh penduduk pendatang dari luar ibukota sebagai pemukiman kumuh ilegal seperti kita lihat di bawah jalan tol menuju ke arah bandara Soekarno-Hatta dan Mangga Dua. Selain itu kolong jembatan juga sering dijadikan tempat pedagang kaki lima berjualan karena teduh (jalan diatas berfungsi sebagai atap) dan seringkali berada di dekat pusat keramaian, bahkan tidak jarang menjadi tempat hiburan bagi masyarakat kelas bawah (pagelaran dangdut dengan menggunakan soundsystem yang berada di mobil boks kemudian penyanyi perempuan bernyanyi sambil berjoget, sering terjadi di bawah fly over depan ITC Roxy pada larut malam ketika jalan sudah sepi).
kami mengambil contoh fly over di daerah Tomang dekat Mall Taman Anggrek. Fly over tersebut berada di perempatan yang besar, dilalui Busway dan merupakan pintu akses tol menuju Tangerang dan pulau Sumatera. Fly over tersebut memiliki lebar jalan kurang lebih 35 m (ukuran berdasarkan pengamatan visual, sehingga tidak akurat) dengan struktur berbahan beton. Kota Jakarta telah kehilang ruang 525 m² (dianggap jarak dari kolom ke kolom fly over tersebut 15m) yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Kenapa berpotensi? Karena letaknya yang berada ditengah kota dan ruang yang cukup luas tersebut hanya difungsikan sebagai ruang transisi. Apabila kita jumlahkan ruang – ruang dibawah fly over Jakarta secara keseluruhan, berapa besar Jakarta telah kehilangan ruang yang berpotensi?
Potensi ruang di kolong jembatan tersebut bisa dikembangkan seperti dengan memfasilitasi kegiatan yang sudah tumbuh di kolong jembatan tersebut yang dulunya ilegal menjadi legal, tentunya dengan kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang mendukung kalangan menengah kebawah dengan tetap mendukung kreatifitas perancang. Penyerahan ruang kota tersebut untuk diolah bagi masyarakat kalangan menengah kebawah adalah karena kawasan tersebut telah dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat menengah kebawah. Kenapa bisa disebut baik disini? Karena masyarakat menengah kebawah selaku penghuni kota telah memanfaatkan ruang yang serba terbatas tersebut (tidak hanya kolong jembatan) dengan menaikkan nilai lahan itu sendiri dengan melihat potensi ekonomi yang ada di ruang kota, padahal mereka sendiri memiliki keterbatasan, seperti biaya, tidak adanya perizinan yang sah, dan lain sebagainya, yang sebenarnya dibutuhkan bukanlah sebuah pengusiran atau penggusuran, tapi sebuah penataan yang baik dan sehat. Walaupun masyarakat menengah bawah memanfaatkan ruang tersebut, tidak menutup kemungkinan untuk dimasuki oleh seluruh penghuni kota, dalam hal ini menjadi ruang publik kota. Selain itu pemerintah juga memperoleh keuntungan dengan dimanfaatkannya tanah negara yang dapat digolongkan ruang sisa sebagai pemasukan daerah karena dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Akan tetapi memang perlu dikaji kembali secara lebih mendalam tentang hal tersebut.
Secara teori ada tiga cara perkembangan kota, yaitu : horizontal, vertikal, dan interstisial. Yang akan kami soroti adalah perkembangan secara interstisial, Interstisial adalah perkembangan kota yang perkembangannya dilangsungkan ke dalam. Artinya, daerah dan ketinggian bangunan – bangunan rata – rata sama, sedangkan kuantitas lahan terbangun (coverage) bertambah. Secara analogi apabila ada dua bangunan yang diapit ruang terbuka, dikarenakan sudah tidak ada lagi ruang untuk membangun maka ruang terbuka tersebut dibangun bangunan baru atau disisipkan diantara dua bangunan. Pada beberapa daerah kota Jakarta yang padat, sudah harus diterapkan cara perkembangan kota secara interstisial. Akan tetapi yang disisipkan bukan bangunan tetapi ruang publik baru karena kawasan tersebut terlalu sesak dengan bangunan. Hal ini disebabkan karena banyaknya bangunan yang terbangun dan perlu disisipkan ruang – ruang publik diantara bangunan tersebut untuk manusia yang berada disekitar kawasan tersebut.
Ada beberapa faktor yang kami perhatikan menyebabkan kolong jembatan tidak dimaksimalkan fungsinya di Jakarta. Pertama, lingkungan sekitar yang tidak mendukung untuk menikmati ruang tersebut. Dengan banyaknya kendaraan yang melewati jalan tersebut, terutama di lampu merah menyebabkan menumpuknya polusi disekitar kolong jembatan tersebut sehingga kurang nyaman dan sehat. Hal ini menyebabkan ruang tersebut tidak diperhatikan dan dihindari oleh penduduk kota. Kedua, linkage ke kolong jembatan tersebut yang hanya berupa zebra cross sehingga untuk mencapai ke dalam kolong jembatan dibutuhkan pengorbanan melewati jalur kuda besi yang cukup lebar.”
Nah setelah membaca pemaparan tersebut kami punya dasar yang kuat untuk mengadakan acara di bawah kolong jembatan. Karena tidak jauh dari permasalahan kota yang sedang terjadi di Jakarta. Setelah mengalami perdebatan internal yang alot tentang konsep acara dan keterbatasan – keterbatasan yang menghambat, serta bongkar pasang panitia. Biasa….! Namanya juga mahasiswa. Akhirnya acara berjalan juga. Setelah urusan sponsor selesai, alat dan bahan sudah terkumpul, saatnya dimulai dekorasi, bagian terindah dari proses acara ini. Ngecat beres, teriak sana teriak sini, instalasi selesai, tidur sana tidur sini, keramik dipasang, marah sana marah sini, pinjem instalasi sana – sini, ketawa kesana ketawa kesini. Jeng…jeng…!!! Lapor komandan…acara siap dilaksanakan….terserah lo - lo pada bagian acara mau ngapain…kita – kita tidur dulu…kalo butuh bantuan bangunin aja…laporan diselesaikan…zzzz…zzzz…zzzz…..
Tim acara bergerak, berbondong – bonding kalangan akademisi, praktisi, pemerintahan dan seniman diundang untuk memberikan sudut pandang masing – masing. Mereka diantaranya antara lain Prof. Ir. M. Danisworo. M.Arch.,MUP.,Ph.D, Ir. Ahmad D. Tardiyana,MUDD, Ir. Nirwono Joga, M.LA., Iwan Kurniawan, ST, MT, Gregorius Supie Yolodie, Hari Dagoe, Ir. Adhi Moersid,IAI, Yulianti Tanyadji, ST, MSc. Tema – tema seminar dan diskusi yang diangkat pada acara Metamorfosa ini tidak lari dari angan – angan akan Jakarta yang memiliki ruang publik cantik, indah, dan dapat dimiliki oleh semua warganya. Pada hari pertama acara Metamorfosa adalah seminar yang diadakan di auditorium kampus, disamping pameran yang telah diadakan di kolong jembatan, tema yang yang diangkat pada seminar adalah ”definisi ruang publik” membahas mengenai definisi yang lebih mendalam, esensi dan solusi mengenai ruang publik. Pada hari kedua dan ketiga acara talkshow diadakan dibawah kolong jembatan. Tema talkshow yang diangkat pada hari kedua adalah ”Memanusiakan Ruang Publik”, yang membicarakan bagaimana merancang ruang publik dengan manusia sebagai subjek yang diprioritaskan, sehingga esensi dari ruang publik tersebut dapat tercapai secara optimal. Sedangkan pada talkshow yang ketiga tema yang diangkat adalah “Masa Depan Ruang Publik” mempertanyakan bagaimanakah seharusnya ruang publik (di Jakarta khususnya) pada masa depan. Ditinjau dari perkembangan arsitektur di dunia yang semakin pesat dalam hal pendekatan design, struktur, maupun material.
Disamping gubernur, camat, anggota DPR, rektor, dekan, dosen, mahasiswa dari kampus lain, masyarakat umum, wartawan dan tukang airbrush, pada acara ini juga kami mengundang pedagang kaki lima (tukang teh, tukang gorengan, gerobak soto, jus, dll) untuk ikut berpartisipasi pada acara kami dengan berjualan pada area yang telah disediakan,gratis…..Yah… semoga bisa ikut membantu perekonomian pedagang sekitar, jadi ni acara ga hanya menang gaya doang tapi juga ikut nolongin orang. Selain itu kita juga ingin memberi alternatif pada bapak – bapak dan ibu – ibu (logat AA Gym kalo ceramah) yang memiliki kekuatan politik bahwa kolong jembatan bisa dipake dagang kok, disamping hanya menjadi area parkir doang. Sapa tau kan nanti ada glodok baru di kolong jembatan S.parman.
Ada yang menarik ketika acara sedang berlangsung. Ternyata kolong jembatan tempat kami mengadakan acara metamorfosa sering dipergunakan oleh sebuah yayasan sosial bernama Sahabat Anak Grogol untuk memberikan bimbingan belajar kepada warga kolong disekitar. Pendidikan yang diberikan berupa baca tulis serta menghitung, dan yang memperoleh pelajaran tidak hanya anak kecil tetapi juga orang tua yang mau belajar. Adanya kegiatan belajar mengajar di bawah kolong jembatan ini memberikan pemahaman baru bagi kami bahwa ternyata kolong jembatan bisa menjadi apa saja, walaupun saat ini semua kegiatan dibawah kolong jembatan ini terjadi karena terpaksa.
Keberhasilan acara ini bisa disebut belum sepenuhnya berhasil, walaupun target untuk menjadikan hal ini sebagai wacana di masyarakat dan terpublikasikannya acara ini keluar kampus melebihi ekspetasi yang kita kira. Kenapa? Karena acara yang kita buat hanya sementara dan wacana yang terjadi dalam masyarakat bisa digantikan oleh wacana yang lain, dan sampai saat ini ternyata kolong jembatan tetap belum bisa menjadi apa – apa. Kolong jembatan tetap menjadi tempat yang gelap, tidak menarik, dan cenderung dijauhi oleh mayoritas masyarakat perkotaan. Sehingga memunculkan pertanyaan baru. Kapan kolong jembatan di Jakarta bisa menjadi ruang publik yang sebenarnya diharapkan oleh warga Jakarta sebagai alternatif taman kota? Semoga kita bisa menjawabnya bersama – sama.

tulisan ini dimuat di free magazine G-Magz #2

Saturday, September 20, 2008

Manusia Wacana

Begitu membludaknya tercipta manusia dengan perilaku gumam. Membludak, hampir seperti volume air laut di jagat. Walaupun hanya sebuah majas hiperbola. Dimana kepala satu bergumam ke kepala satu yang lain atau bahkan ke banyak kepala. Gumam tidak pernah habis. Setiap kepala bergumam. Gumam ini, gumam itu, gumam sana, gumam sini. Gumam hanya terlempar – lempar seperti olah raga bola. Pindah kesana, pindah kesini, melambung kemari. Berebut untuk bergumam. Gumam pun bisa bingung karena kenapa si gumam harus terus bergumam. Itu – itu saja. Dia tidak menghasilkan apa – apa. Tidak merubah skor. Tidak bertemu kemenangan dan tidak berpapasan dengan kekalahan. Siapa kepala – kepala gumam itu? Si A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T, U, V, W, X, Y, Z? Kita pun tak tahu. Cukup bisa terjawab di hati yang tidak pernah bohong. Itupun masih mungkin.
Mengapa mereka tercipta? Untuk meramaikan dunia barangkali. Menciptakan dunia seimbang. Tapi apabila terlalu banyak hanya kan membuat beku. Dimana kita hanya berputar di dalam gumam kita sendiri dan ke orang lain yang juga seorang penggumam. Dalam wujud wacana. Tiap kepala Cuma bergumam. Menginginkan. Tapi tidak melakukan. Apakah tidak rindu kalian menjodohkan gumam dengan yang lain. Gumam berkekasih dengan tindak. Ketika gumam bersetubuh dengan tindak dia akan membuntingi anak dengan nama hasil. Hasil yang mempunyai nama panjang. Bisa hasil buruk, hasil jelek, hasil gitu, hasil gini, tidak ada hasil, hasil tak sampai, berhasil, dan lain – lain.
Dunia butuh gumam.butuh sebuah wacana. Karena wacana itu membuat kita merasa. Tapi apalah daya. Kita tidak bisa tahu siapa yang menjadi manusia wacana. Apakah kita sudah pantas menjadi manusia wacana? Bisakah kita menolak menjadi manusia wacana? Karena kita bisa melakukan. Tapi tetap terbius dengan wacana, dengan gumam yang bisa saja kita telan sendiri. Tercerna di dalam kata, tapi tersumbat tak keluar. Banyak sekali manusia – manusia yang bisa bertindak. Tapi mereka hanya bergelayutan di akar gantung wacana, yang kuat, kokoh, tak bergerak. Mereka menolak bertindak, ibarat barang najis yang tak mau dipegang. Kotor. Haram. Seperti berteman dengan setan.
Apakah ini hanya akan menjadi sebuah wacana? Lewat begitu saja. Terlupa begini saja. Habis. Karena apabila harus jujur. Inipun hanya sebuah wacana.

Monday, September 15, 2008

mungkin

Pernahkah teman meresapi arti kata “mungkin” ? mungkin tidak. Suatu kata yang membuat kita anak manusia menggantung tapi tetap berharap. Begitu dalam arti kata itu bila kita resapi. Membuat teman ingin marah, kecewa, tapi bisa jadi bahagia, semua tergantung dari situsi yang terjadi sehingga ada seorang pemimpin diantara teman yang mengeluarkan kata mungkin. Sebuah kata – kata ajaib penuh pengharapan.
Apa kita sebagai manusia disaat sekarang ini membutuhkan kata mungkin? Sebuah kata dengan arti dan makna tak pasti. Bima dalam tokoh pewayangan jawa belum tentu bima bisa jadi arjuna. pandawa lima belum tentu ada lima bila kita tidak terpatok oleh angka lima. Bisa jadi enam sedangkan yang ada diingatan para seniman ataupun budayawan lima. Semua mungkin saja diciptakan oleh orang – orang zaman dulu bukan? mungkin saja bukan? Sekali lagi mungkin. Tak pasti. Kecewa.
Sekali lagi mungkin kata – kata mungkin memiliki arti yang juga mungkin. Apa kita harus terus berputar – putar dengan kemungkinan – kemungkinan? Tidak mengambil tindakan yang berujung pada kepastian. Itu yang mungkin sedang kita hadapi sebagai anak manusia yang lahir di indonesia menurut soekarno, dan auslia menurut tan malaka, dan bisa jadi hindia belanda menurut belanda. Tidak bisakah kita lari dari kata – kata mungkin dengan mengambil langkah pasti? Tidak terus berkutat dengan kata – kata mungkin yang dalam bentuk ilmiah mungkin bisa disebut dengan analisis. Kurasa tidak mungkin. Mungkin kita harus tetap berada di jelaga kemungkinan. Tetapi kita harus cepat keluar dari jelaga penuh lumpur kemungkinan itu bergelut didalamnya sampai kita menemukan sebuah kunci, kunci yaitu kepastian, kepastian tentang apa yang kita pilih dan akan jalani. yang kemudian kita masukkan kedalam lubang yaitu tindakan. Setelah itu baru kita bisa buka pelan – pelan ataupun dengan mendobrak pintu itu yang bisa kita lihat hasilnya nanti.
Paling tidak atau bisa kita sebut ” untunglah....!!!!” kita sudah bisa keluar dari lumpur kemungkinan itu. Tidak lagi berharap dari kemungkinan, kita telah membuka pintu dan bertegur sapa dengan harapan. Harapan pasti. Bila itu salah kita bisa ulang lagi. Menunggu. Menunggu untuk bertemu dengan harapan pasti dengan tercebur kembali kedalam kubangan yang bernama kemungkinan. Terus dan berulang. Tidak ada puasnya.

Friday, March 21, 2008

Pesimis Optimis

Pesimis optimis

Heraklitos berpendapat radikal “Ayah dari segala ada ialah perselisihan”. Berkat perselisihan atau konflik ada sesuatu yang terjadi (dikutip dari Wastu Citra karangan Y.B. Mangunwijaya yang mana Romo Mangun pun mengutip entah dari siapa). Tentu tidak harus kita menelan dengan mentah filosofi ini. Yang Phytagoras, Empedokles, Homeros, Demokritos, Sokrates, Aristoteles saling berebut mengeluarkan pendapat. Toh semua dianggap benar – benar saja. Seperti pesimis dan optimis. Perselisihan. Dua kutub dengan pengertian tak serupa. Kalangan tua yang sudah porak – poranda sehingga menimbulkan pesimisme di kalangan muda dan tidak lupa kalangan tua pun. Dengan busa melimpah berbicara kebobrokan dan kepasrahan. Tidak peduli lagi karena sebentar lagi mati. Begitu tolol.
Apa kita harus ikut pesimis? Begitu tolol. Tidak akan bangkit. Kita boleh mendengarkan dongeng – dongeng buruk dari mereka, media, mulut ke mulut, selebaran tapi apa kita harus menjadi pesimis? Patah arang? Atau bahkan tak mau tahu? Hanya menjalani hidup dan kemudian mati? Mungkin Marx dan Engels akan tertawa. Karena obyek mereka manusia. Bukan ide absolut. Sang Maha pun mewajibkan kita berusaha atau Dia tak akan merubah.
Apa kita juga harus optimis? Begitu tolol. Dengan bangga mendobrak tembok bata. Yang sudah tahu itu keras. Berujung pada rasa sakit. Optimis bagian dari doa, pendapat seorang sahabat. Apa semua doa dapat terkabul? Tidak tahu. Bukan hak kita membahas sesuatu yang transenden. Apa doa suatu optimis? Bukan suatu harapan? Gandhi pernah berkata ”Tuhan tidak beragama”. Tentu Dia tidak membutuhkan doa. Tiap umat beragama pasti membumbu doa. Meminta sesuatu yang tak dapat dicapainya. Paling tidak kita termotivasi. Tapi apa harus?
Apa kita harus berdamai dengan setan? Memakai ciri keberadaan mereka. Dimana jin muslim yang berdialog dengan Muhammad Isa Dawud menjelaskan setan berada di antara yang dingin dan yang panas. Pertemuan air hangat dan air dingan. Gelap terang. Pesimis optimis. Mungkinkah kita bisa duduk bersama dengan setan? Diantara pesimis dan optimis. Entah berbentuk pengertian apa. Netral barangkali.
Apa kita harus berada diantara pesimis dan optimis? Begitu tolol. Terstatiskan tidak bisa bergerak. Diam. Lumpuh total dimana tidak bisa memilih antara menggelepar mati atau hidup abadi. Mati segan hidup tak mau? Sedap memang. Dimana kita menjalankan roda hidup tanpa terasuki oleh apa – apa. Lurus bergaris sampai kemudian berhenti. Pertanda mati. Cuma setan yang bergerak. Kita dimakani setan sampai habis.
Atau kita lebih baik berdamai dengan ketiganya? Laksana brahma, wishnu, dan syiwa. Tritunggal yang harus terus bersama untuk menjalankan roda kehidupan. Dialektika. Awal kita kecewa dengan segala apa yang kita lihat. Berpuas diri dengan derita Tetapi kemudian terus mencari apa itu arti. Dan bangkit untuk terus mengejar walau tak pasti. Hanya bermodal harapan yang membuat kita lebih nyaman dan lega. Tenang. Apabila benar kita berbahagia apabila salah kita hanya bisa pasrah dan berserah. Apa itu arti dari doa?
Silahkan memilih. Begitu tololnya.

Wednesday, March 5, 2008

Sakit Kepala

Sakit kepala

Sudah pernah sakit kepala? Ada petir didalam kepala yang sewaktu – waktu menggelegar, ada pola waktu terukur yang menyebabkan hantaman dikepala bisa datang dan pergi. Hilang seenaknya dan menubruk masuk sesukanya. Tergambar seperti siksaan dimana panadol adalah jawabannya. Tapi ada kenikmatan tersembunyi didalam sakit kepala. Tidak hanya erangan dan umpatan pada rasa sakit yang tidak bisa keluar dari kepala.

Apa yang kalian lakukan dalam sakit itu. Mencari posisi yang nikmat untuk melayani kepala yang sedang berontak bukan? Entah nungging, berbaring, jongkok. Tapi rasakan sensasi untuk mengurangi hentakan sakit itu. Resapi ketika tangan memegang tengkuk leher, memijit – mijitnya untuk mengurangi rasa sakit dan curahan ide tak tercatat seperti keluar. Crot........... Kita tidak berhenti berpikir ketika sakit kepala.

Ide secara acak keluar dari sumbatan aliran darah ke kepala. Saya merasakan ide dan nafsu untuk menumpahkan ide itu. Seperti anjing liar yang datang musim kawin. Tapi tidak ada betinanya. Sehingga dia onani saja. Apa ini yang namanya berpikir reaktif Menurut Edward de Bono? Tetapi saya tidak memperoleh umpan atau bahan yang disodorkan, sehingga membuat saya bereaksi. Hanya sakit kepala. Atau bisa jadi erangan perut lapar di bulan puasa. Sehingga membuat cuap ingin bicara.

Mungkin ada juga kritik untuk orang – orang beraliran eksplesitisme dan orang – orang yang membutuhkan kata untuk menjelaskan gambar, disini saya pun bereksplesitas. Didalam sakit kepala ini saya mengutip pengertian kata dari kaos yang saya lihat pada sebuah pameran untuk Sutardji Calzoum Bachri, sang presiden penyair katanya. Tapi saya agak lupa tapi begini kira – kira ”kata itu bukan pipa, yang mengalirkan air hingga sampai ketujuannya,......... kata adalah kata itu sendiri”. Kata berdiri dengan maknanya sendiri. Mungkin tidak bisa dipahami apabila tidak diresapi. Sebuah gambar juga sudah harus mampu menjelaskan masalah apa yang terjadi. Mentang – mentang multimedia semua dicampur. Kayak henpon aja, bisa radio, internet, foto, mp3 lama – lama bisa masak, tidur, ngblender, bahkan mungkin nanti bisa beranak pinak. Tidak ada pemusatan dan pengabdian pada salah satunya. Dimana saya pun mengalami masalah dalam hal pemusatan dan pengabdian. Yang terjadi semua menjadi setengah, setengah kata, setengah gambar. Kekuatannya melemah dan terbagi. Walaupun saling melengkapi antar keduanya.

Dan kejujuran akan ompong bila hanya dilihat dari kacamata kuda bermerk oakley. Yang terdengar hanya tuk...tik...tak...tik...tuk...tik...tak...tik...tuk...tapi tenyata berlari di mesin jogging. Tidak bergerak, sama seperti kejujuran yang dibuat diatas kertas bergambar dan berkata tapi berbunyi tuk..tik..tak..tik..tuk...dangkal dan cenderung renyah. Aduh....sakit kepala.

Apa kita cenderung berpikir cepat menurut de Bono kembali dari buku ”Pelajaran Berpikir” pemberian Mr. Djaeng? Sehingga kita yang masih berdarah muda cenderung berpikir secara cepat dan cenderung instan. Emosi bermain – main bersama masalah sehingga apa itu arti kebijaksanaan termakan oleh rindangnya tetumbuhan sehingga menjadi gelap dan saru. Atau kita harus berpikir lambat saja, yang berarti kita dapat memusatkan perhatian pada setiap tahap dengan lebih jelas. Terdapat pula sarana pemusatan khusus yang dapat kita pergunakan (hal.13 kanan atas bawah dikit). Mau pinter mau bodo juga tinggal milih kan yang mana. Aduh....kepalaku.....

Friday, February 8, 2008

Sentuh

Sentuh

Ketika bayi lahir, sentuhan kita kepadanya mungkin membuat kita menitikkan air mata. Begitu halus karunia yang datang dari Yang Kuasa. Jari – jari mungil merah karena kulit yang begitu tipis. Masih baru. Tapi apakah yang bayi rasakan? Apakah sama dengan rasa bangga yang didapat oleh orang tuanya dengan rasa kasih berlebih yang sangat dalam? Tidak menutup kemungkinan juga jijik yang amat sangat yang mungkin bayi mungil itu tidak mengerti rasa apa itu. Dan dia tetap bertanya – tanya dalam kebutaan sementaranya.

Tetapi apa yang terjadi ketika bayi itu beranjak dewasa dan sudah tahu atau mengalami makna persentuhan melalui sebuah rentang proses waktu? Melalui sebuah pendidikan yang tak sadar ataupun dari kebiasaan yang tercipta dari kebudayaan manusia selama ini sehingga menjadi baku atau patokan. Atau bisa jadi dari sifat primitif manusia yang bisa disebut binatang dalam disiplin ilmu tertentu. Makna dalam persentuhan dengan bunda atau ayah mungkin kita semua sudah pahami. Itu adalah cinta yang terjalin dengan dekskripsi jelas. Anak – ayah – anak – bunda. Hubungan darah yang susah berpisah.

Dengan sesama jenis tak kita pungkiri lagi mayoritas khalayak disini yang relatif normal, dan sudah mengerti arti sentuhan antar sesama. Gelagak rasa beda mungkin terasa oleh kaum – kaum marjinal yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh persen dari jumlah manusia di bumi. Lesbi dan homo. Tapi gelegak apa yang kita rasa bila bersentuh dengan lawan jenis? Apalagi bila kita punya rasa. Disini tak perlu kita bicara bila kita tak punya rasa bukan? Sentuh itu tidak punya arti dan berlalu begitu saja dan akan lupa kemudian larut dalam waktu.

Sentuh itu begitu bermakna, dengan gejolak yang tak terdekskripsi seperti menumpahkan pikir ke dalam bentuk kata. Sentuh menjadi memiliki nilai yang begitu tinggi dan mempunyai label harga yang sangat mahal untuk didapat atau diraih. Seperti label harga di toko – toko lantai dasar Plaza Senayan. Dimana momen – momen itu tidak setiap saat kita dapat. Hal itu lumrah untuk diimpikan dengan ungkapan dan perilaku yang tidak cukup untuk membuktikan. Tapi pembelajaran bisa kita dapat dan usahakan bagi kita yang menyimpan dan menyembunyikan. Merasa dengan tidak menyentuh. Bisa kita coba sensasi itu. Dengan cukup hanya pandangan dan bicara dan diakhiri dengan diam.

Tanpa maksud merendahkan pelacur yang bersentuh karena suatu yang bisa jadi paksaan dari suatu kebutuhan materi dari dalam dirinya. Dimana sentuhnya tidak berarti baginya, bahkan proses penyatuan badannya dia lewati seadanya tanpa memaknai apa itu arti sentuh bagi dirinya sendiri karena dia sudah membuat tendensi antara saraf sentuhnya dengan hatinya yang dia lelapkan. Dia tidak mau lebih dari suatu urusan bisnis badan.

Disini arti sentuh kita memiliki apresiasi yang begitu tinggi. Karena dia berharga dan pantas untuk mempunyai harga. Karena rasa bermain di dalamnya. Salah apabila sentuh itu berkait dengan nafsu karena pelacur pun tidak memakai nafsu. Pengguna pelacur yang memuja nafsu disini. Paling tidak kita bisa saling percaya bahwa sentuh kita bukan sentuh lacur yang membawa kemalangan dan tidak mau itu terulang.

Dimana sentuh memiliki arti? Ke bunda, ayah, saudara, sahabat, terkasih, bahkan ke pelacur? Asal tidak membawa buntut seperti yang diungkapkan sebelumnya. Nafsu. Karena akan menjadi lacur dan menjadi pengalaman yang mahal harganya.

Wednesday, February 6, 2008

Indonesia Punya Bahasa?

Indonesia Punya Bahasa?

Indonesia punya bahasa? Pada tanggal 28 Oktober 1928 diadakan kongres sumpah pemuda. Salah satu hasil kesepakatannya bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Di waktu yang sudah jadi sejarah itu pemuda berikrar bahwa kita berbahasa satu bahasa indonesia. Tapi pengertian yang mempunyai wujud untuk menyatukan itu sudah mulai bergeser sangat jauh, bahkan tersingkir dipojokan gelap. Lihat kita sekarang, dengan bangganya berbahasa asing. Reklame – reklame yang menggunakan bahasa dari ibu orang lain dengan tujuan menarik minat dan berujung pada ”keuntungan”, belum lagi judul – judul film, foto,semboyan trade mark merk, apa bahasa indonesia tidak mampu mengartikannya? Sering kali kita bertegur sapa dengan sahabat ” what’s up bro!”, ” hai, man!”. Kebanggaan yang berujung pada geleng – geleng kepala rombongan 1928 bila mereka masih ada. Dengan susah payah mengumpulkan manusia – manusia bersuku beda dengan tujuan menyatukan persepsi yang berujung pada kata ”MERDEKA...!”. dengan titik awal meniadakan kata urang, awak, kulo, beta menjadi satu kata ”aku” yang berlaku untuk seluruh indonesia. Perlu kita ingat mereka tidak sedang berwisata keliling – keliling kota. Begitu sombongnya kah kita? Sampai lupa akan pentingnya sebuah bahasa indonesia? Padahal itu bahasa persatuan kita yang telah disempurnakan dengan ejaan yang telah disempurnakan (EYD) oleh ahli – ahli bahasa negeri ini. Tentu saja kita tidak lihat mereka berdebat – debat untuk memperoleh makna dari sebuah kata yang bertujuan untuk lebih sempurna dan tidak boros huruf. Memang kita sangat terbuka dengan apa itu pengaruh. Tapi apa kita tidak bisa memilih? Memilah? Seakan – akan semua yang dari luar bagus? Apa disini tidak ada yang baik? Yang bisa kita banggakan? Di suatu proyek besar bangunan tinggi dua puluh delapan lantai. Pekerja – pekerja kasar dengan peluh – peluh keringat yang mendekati bau tak sedap bercanda dengan teman seprofesinya di dalam alimax yang sedang naik turun melayani pekerja. Mereka menggunakan bahasa daerah masing – masing yang bisa diketahui darimana mereka berasal, kaum urban-isasi yang cari makan di kota metropolis mengkilap. Walaupun hanya terdengar dua bahasa daerah di telinga yang asing ini yaitu bahasa sunda yang ramah tapi terdengar capek ingin segera turun beristirahat dan bahasa jawa yang kesal karena menunggu alimax terlalu lama padahal ingin cepat turun karena perut lapar dan udara sudah semakin menggerahkan kulit. Mereka tidak keluar dari ke Indonesiaannya yang mungkin tidak begitu mereka banggakan. Atau tidak bisa keluar dari keindonesiaannya? Padahal ingin keluar buru - buru. Paling tidak mereka tetap mengindonesiakan indonesia. Walaupun terpaksa dan tak tahu. Zaman memang tidak bisa dilawan. Bahasa asing itu wajib hukumnya menyambut globalisasi. Dimana kita harus menginternasional kan diri kita sendiri agar laku di pasar. Tetapi tetap bahasa itu hanya tamu di rumah kita. Dimana dia tetap menjadi makhluk kelas dua karena kita sudah punya bahasa sendiri. Bukan menjadi anak gaul di kampung orang. Yang bisa dipukuli kalau songong, cengos, palontong. Bahasa tidak menaikkan harkat dan martabat manusia karena fungsinya sebagai alat komunikasi yang normatif. Bahasa adalah identitas, darimana kita berasal. Yang pasti indonesia punya bahasa ibu. Yang wajib dihargai? Atau tidak sama sekali?

Tuesday, February 5, 2008

Aku yang Bukan Aku

Aku yang Bukan Aku

“Aku adalah karakter. Aku ada di dalam tubuh manusia. Aku tidak bisa diraba karena bentukku bukanlah materi, dan akupun tidak berkelamin, tapi kalian bisa merasakanku, ke ”ada”an ku tidak usah kalian pertanyakan lagi. Karena eksistensiku sudah ada di masing – masing kalian, karena aku bisa kalian rasakan. Dalam pendekskripsian yang berbeda dari kamu – kamu yang tentu tidak sama dengan ku. Kalian dapat menyentuh ku, atau bahkan disentuh oleh ku.
Aku baik menurutku. Karena aku tahu diriku, siapa aku, apa bentukan ku, apa yang mempengaruhiku, apa atau siapa yang membuatku berani hingga menerkam seperti macan, bahkan membuatku takut sehingga menjokok ketakutan di sudut ruang. Aku bangga akan akan diriku, sekali lagi karena aku tahu siapa aku, bukan kalian yang sok tahu siapa aku. Padahal masih banyak misteri yang aku sendiri pun tak tahu. Aku terlihat karena aku memang memperlihatkan diriku, tetapi tetap terselubung badan ku.
Di luar ke ”aku”an ku adalah ”kamu”. Tersadar aku bahwa aku adalah bukan aku tanpa kamu. Aku tak akan terbentuk menjadi aku tanpa ada kamu. Kamu – kamu yang memiliki ke akuan sendiri – sendiri, bahwa kamu yang membuat aku memiliki apa yang disebut aku. Tanpa ada kamu aku tidak akan menjadi aku, karena penilaian “aku“ ku kamu juga yang menilai.
Tapi pengaruh kamu kadang tidak menguntungkan aku. Dimana ketika kamu menjadi banyak, aku akan kehilangan ke akuanku yang dilawan dari luar ke akuan ku. Kamu – kamu yang memiliki pengaruh atau bisa jadi aura yang terkumpul yang membunuh keakuanku. Salahkah? Bisa benar, bisa salah. Tergantung di posisi mana aku ku kuletakkan. Disini aku lah yang memilih. Apa ke akuan ku kalian berangus karena aku ku yang tidak menguntungkan kamu sehingga aku ku harus berontak. Atau aku diam saja dan menyerah karena aku ku tidak mampu melawan kamu? Atau aku harus mengharap bahwa kamu akan menghargai ke akuan ku? Enak saja”.
Itulah tadi keluh kesah si aku. Aku yang mungkin banyak bertanya tentang hilangnya ke”aku”annya. Menjadi hilang ke ”aku”annya karena pengaruh ”kamu”. Tetapi apakah ”aku” tidak boleh menjadi ”aku”. Mengerti akan keberadaan ”aku” yang ingin jujur dengan ke ”aku”annya. Tanpa ada bohong. Paling tidak diusahakan oleh aku.
Yah...!paling tidak aku sudah bercerita tentang akunya yang terkadang terpengaruh dan kadang berusaha dipertahankan. Aku pun dapat mengakui akan ke akuannya yang bisa saja hilang untuk bertahan pada ke akuannya. Sekali lagi paling tidak dia berusaha untuk menjadi akunya sendiri yang bersih dan suci dengan ”aku”nya tanpa ada kotor – kotor dari ”kamu” yang mana bisa saja disebut publik.
”Aku” dalam bentuk karakter akan menghilang apabila sudah berada dalam bentuk massa, tapi bisakah karakter tetap bisa muncul dalam jumlah massa? karakter individu tentunya bukan karakter massa.
Karakter bodoh yang muncul dalam sebuah institusi besar sebagai contoh universitas yang bisa kita lihat dalam kehidupan kita sehari – sehari membentuk sebuah pengaruh kepada massa yang secara langsung juga menjadi bodoh dan terhalusinasi oleh sebuah keputusan dari karakter yang bodoh.
Kesempatan yang diperoleh membuat karakter pintar yang tidak memiliki kesempatan untuk menciptakan pengaruh pintar, kehilangan taji untuk mempengaruhi. Sepertinya disini kesempatan yang dipersalahkan, akan tetapi ini cuma masalah peruntungan dan ambisi. Sekali lagi apakah ”aku” bisa memberikan pengaruh yang pintar atau bodoh dalam sebuah kesempatan dan peruntungan dalam tulisan yang membingungkan ini? ”aku” ku pun tak bisa menjawab, hanya bisa memilih.


Odie Banoreza

Sunday, February 3, 2008

Dering

Dering

Dering. Apa itu mengganggu? Bunyi – bunyi selain dering juga kita dengar setiap hari. Banyak yang luput. Terlewat. Padahal ada banyak yang masuk ke telinga – telinga jeli kita. Tapi terpisah begitu saja. Tanpa diatur. Tanpa kita sadar bisa jadi. Karena kita mendengar hanya apa yang kita anggap perlu. Kita sering hanya mendengar cakap. Karena itu kita anggap. Banyolan dari mulut yang berlagak dengan mimik serius. Tapi bisa berubah – ubah. Hercules pun pernah tertawa karena dia sedang perlu.

Dering yang berasal dari kantong celana, saku kemeja, diatas meja, dibalik bantal memanggil. Bukankah kita pun terpanggil. Senang mungkin karena ternyata ada yang perlu. Berbunyi selalu bila ada yang perlu. Apa dia berbunyi ketika tidak ada yang perlu? Kembali kepada cakap. Kita hanya bercakap setelah dering berlalu. Bermain jari yang tak disangka membentuk sebuah cakap. Cakap yang menjadi karena bentukan dari perlu. Karena dering itu hanya alat.

Layaknya sebuah istilah teater politik tidak ada kawan abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi. Alat itu tidak bisa terpakai bila kita adaktil. Toh kita juga bisa menggunakannya dengan tidak subtil. Sehingga dering tetaplah dering. Dering kosong melompong. Karena dering itu kotor.

Apa kita ketika perlu baru nampak dalam sebuah hubungan. Muncul dari semak belukar. Jujur saja kalo itu memang. Toh memang begitu. Dering itu berkumandang seperti adzan. Hanya saja adzan panggilan untuk bertemu Tuhan. Nada sambung yang selalu sama. Dan panggilan itu bukan berupa miss call. Sama saja dengan lonceng gereja yang berbunyi itu – itu saja. Dengan nada dan irama tak berubah. Sedangkan dering ”perlu”. Berasal dari siapa saja. Dengan kepentingan apa saja. Dengan bunyi yang tidak sama. Bisa berubah semaunya. Bisa dipilih dan diatur. Sesuka hati kita. Toh bercampur juga setiap perlu yang kita terima dari dering.

Apa kamu senang diperlukan? Dimanfaatkan? Demi kepentingan perseorang, kelompok, bahkan gerombolan. Karena kita semua pasti selalu bermain dengan pengertian kata ”perlu”. Diperlukan dan memerlukan. Saling terkait akan hubungan walaupun tidak dalam. Hanya beralas pada perlu saja. Butuh dan tidak lebih tapi berembel dengan makna lain yang lebih halus dan nyaman terdengar. Begitu sederhananyakah? Entah pengertian ”perlu” disini bisa disebut hina atau bisa diterima karena memang sudah begitu adanya. Tersubyektifkan sehingga tidak ada benar.

Dering itu berbunyi ketika kita sedang terlelap. Bahkan ketika kita mau lari dari perlu. Ketika buang hajat pun dia bisa berbunyi. Bisa jadi berasal dari pantat. Kapan saja dia bisa memanggil – manggil karena ada perlu. Berarti benar bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, karena manusia adalah makhluk yang banyak perlu. Perlunya pun beragam. Bisa untuk kebaikan, ketamakan, keperluan tetua dimana perlu menjadi kuadrat dan perlu menjadi ditumpangi, perlu akan hati, perlu akan batin, dan perlu – perlu lain yang pasti berembel banyak. Jadi bisakah kita manusia yang bermitos terbaik di jagat ini bisa menjadi makhluk tidak perlu? Pasti bisa dijawab sendiri. Sssttttt......dengar! Dering itu berbunyi lagi.

Wednesday, January 30, 2008

Malin

Malin

Malin terbangun dari sujud sembahnya yang muram. Dengan raga berbentuk batu yang didapat dari kutukan ibunya. Ditemani malam gelap dingin, sunyi, dan sepi hanya ditemani riuh rendah bunyi jangkrik dan kelap kelip kunang – kunang dia menatap bulan purnama. Bukan bulan yang dikagumi. Dia teringat ibunya.
Malin rindu. Ya...rindu. Rindu akan suatu kasih sayang. Dari ibu. Seperti kita yang juga sama seperti malin. Bisa merindu. Hanya malin sekarang terbuat dari batu. Kita tak usah mengganggu malin sekarang. Tapi apa yang kita rindukan sekarang? Samakah seperti malin? Atau kita merindukan yang lain? Seorang wanita atau pria ideal mungkin? Seonggok harta barangkali? Sebuah berhala bisa jadi? Atau rindu akan seorang yang peduli? Atau kesemuanya? Rakus. Jangan.
Bila kita menjadi rakus apa mau tetap menjadi peduli? Banyak sekali orang merindukan si peduli. Yang mau menengok bila ada yang membutuhkan. Bahkan ketika tidak dibutuhkan. Seperti Muhammad, Yesus, Sidharta, gandhi. Tapi kenapa kesemua tokoh spiritual? Apa yang cukup beragama saja atau bahkan yang tidak beragama tidak? Jangan tanya saya. Kita hanya kenal yang terkenal. Yang tidak mencolok bisa kita tidak tengok. Manusia harus rela. Tidak terkenal bukan menjadi halangan jadi peduli, untuk welas asih. Paling tidak semampunya.
Rindu itu sebuah anugerah. Entah diberi oleh siapa. Dari yang kita rindukan kah? Dari hormon yang terproses dari tubuh kah? Atau dari Tuhan kah? Tetap hanya bisa dinikmati terus dinikmati sampai hilang dengan sendiri. Atau kita usahakan untuk dibutuhi. Rindu Cuma bisa dirasa oleh manusia. Apa kalian bisa bisa merasakan anjing yang rindu? pohon yang kangen?
Mao zedong bukan sosok yang dirindu. Dia membantai ribuan orang dalam revolusi kebudayaan di cina. Menjadikan pemuda sebagai alat untuk menyingkirkan lawan – lawan politiknya. Chrisye sudah berpulang, serindu apapun kita padanya kita hanya bisa mengirim doa. Kita bisa melepaskan hasrat rindu dengan mendengarkan suaranya cukup dari kaset saja. Gesang sedang sakit di solo tidak ada yang menengok. Apa tidak ada yang merindukannya? Kasetnya tidak dijual di toko kaset. Terakhir terlihat di TVRI. Itupun sudah puluhan tahun yang lalu.
Serindu apapun manusia terhadap manusia sangat disayangkan bila hanya menghasilkan sebuah kenihilan. Kenihilan yang membuat perindu diam. Tidak menggerakkan kehidupannya dan hanya berada disitu – situ saja. Konteks ini mungkin tidak hanya pada manusia, bisa yang lain. Tapi toh tetap dijalankan kenihilan itu. Kenihilan juga bukan hanya berasal dari rindu. Rindu adalah kenikmatan yang bisa diakhiri. Karena bukan kenikmatan yang abadi yang dibawa sampai mati dan juga bukan suatu kewajiban yang harus dijalani. Kita bisa pergi dari rindu kalau memang merasa itu sudah cukup. Karena hidup terus berlanjut. Dan rindu hanyalah bagian dari manisnya hidup, yang bisa didepak jika sudah dianggap mengganggu atau tidak berujung pangkal. Hidup bukan hanya merasa manis. Mungkin kita sudah tahu itu.
Hei lihat.... Kasihan malin. Ditengah rindunya yang tidak akan terkabul dia harus menyembah kembali meminta ampun. Dipinggir pantai dengan angin yang semilir dia kembali membatu karena hari menjelang pagi. Tapi dia tetap rindu. Rindu sama ibu.

Bertanya Cipta

Bertanya Cipta

Apakah mencipta milik Tuhan atau manusia? Fredrich Wilhelm Nietzsche sampai mematikan Tuhan agar manusia bisa bebas mencipta. Tanpa harus berpikir tentang dosa, manusia pun bisa mencipta tanpa bayang – bayang sesosok Tuhan dan memang dia adalah seorang atheis. Tuhan dianggapnya tidak ada dan sudah dimatikan didalam benaknya sehingga manusia adalah obyek dari pemikirannya tanpa suatu campur tangan Tuhan. Tapi siapa tahu? Itu pernyataan ekstrem yang dikemukakan dari orang yang kesepian dari cerita buku fuad hasan. Yang berujung kegilaan. Sangat menakutkan mungkin buku yang dikarangnya bagi orang – orang yang tidak mau berpetualang dalam dunia pikir.
Pikiran saya terganggu tentang kita, manusia yang bisa membuat mobil, telepon genggam, pakaian, flashdisk dan semua kebutuhan yang dibuat memang semata – mata untuk manusia itu sendiri. Walaupun disini saya kagum dalam posisi sebagai pengguna. Alat yang diadakan untuk mempermudah kehidupan kita sebagai manusia. Dibuat dengan manusia sebagai pembuat, pengguna dan penikmatnya. Kekaguman yang begitu besar dari lubuk hati saya melihat sebuah karya yang berasal dari otak. Segala asal semua berasal. Dimana didalamnya terdapat khayal, imajinasi, ilmu pasti, mimpi yang memungkinkan semua ada dan menjadi mengada. Menjadi esensi lebih tepatnya alat – alat itu menurut Jean Paul Sartre. Yang menjadi pertanyaan mendasar sebagai bahan pemikiran kita semua adalah manusia yang menciptakah sebagai suatu eksistensi? atau dari Tuhan kah semua hasil cipta itu sebagai Sang Pencipta?
Semua berasal dari hasil peradaban bukan dari kebudayaan, dan ini bukan pendapat saya. Membicarakan relevansi antara mencipta dengan peradaban dan kebudayaan, kita lihat perbedaannya dari pengertian peradaban dan kebudayaan, Nicholas Alexandrovitch Berdyaev memiliki pengertian yang menarik. “Baginya peradaban merupakan perwujudan dari ikhtiar manusia untuk menanggapi keharusan – keharusan yang dituntut oleh alam. Peradaban adalah karya manusia sendiri untuk memenuhi tuntutan alamiah yang dihadapinya. Kebudayaan juga merupakan hasil karya manusia, tetapi hal ini berhubungan dengan kebutuhan spiritualnya” kesimpulan Berdyaev ini saya kutip dari Fuad Hasan pada bukunya ”Berkenalan Dengan Eksistensialisme”. Apa yang kita rasa adalah produk dari sebuah peradaban yang terus berkembang dan kebudayaan adalah bentuk dari religiusitas kita sebagai manusia yang merindukan pertemuan dengan Tuhan. Yang saya pertanyakan apakah alat – alat kita yang dihasilkan sampai sekarang ini didapat dari kerja keras manusia atau memang sudah jalan manusia dari Tuhan untuk kemudian diberi kenikmatan seperti sekarang ini?
Menurut pemikiran saya dengan melepaskan diri saya dari sejarah umat manusia menurut agama yang saya anut dan saya ketahui dimana saya hanya menggunakan analisa sampah, manusia diturunkan ke dunia sebagai orang yang dungu dan bodoh yang dipaksa harus menjawab tantangan dari alam. Dengan hadir di dunia dengan hanya bermodal sifat kebinatangan karena kita belum belajar. Kemudian proses dari tidak tahu menjadi tahu terjadi. Proses ini terus berlanjut hingga sekarang dan belum berhenti. Atau lebih singkatnya dialektika mengutip kata temuan frederick engels.
Dalam hal pengertian sampah saya tentang materialis dan idealisme mencampur. Manusia diturunkan oleh Tuhan dan dilepas seperti anak ayam yang tidak punya induk. Berusaha sendiri dan memilih jalan kehendaknya sendiri. Kita bebas sejak turun ke dunia bahkan saat menjalani hidup di dunia. Tetapi saya sendiri tidak bisa lepas dari suatu ide absolut. Penyatuan materialisme dan idealisme mencampur disini dilihat dari kalimat saya tentang diturunkannya manusia oleh Tuhan. Manusia masih diurusi oleh Tuhan tetapi selebihnya kita diberi kebebasan bahkan kuasa pada ciptaannya. Sampai – sampai mempertanyakanNya pun kita diizinkan.
Dimana Tuhan menurut kalangan materialis mungkin masih dipertanyakan. Tetapi ada pandangan dari Karl Jaspers seorang eksistensialis yang juga bisa menjadi pertimbangan, dia menulis ” makin sejati kebebasan seseorang, makin kuat kepastiannya tentang Tuhan. Kalau saya sungguh – sungguh bebas, saya menjadi pasti bahwa saya tidak bebas karena saya sendiri.”
Pertentangan akan hal idealisme dan materialisme memang sangat sulit untuk didamaikan dimana saya pun berada dibenak melayang yang tidak berani untuk menjawab tetapi terus mencari seperti Karl Jaspers yang tidak ingin mencapai titik sudah. Dimana pernyataan Karl Jaspers “tujuan suatu kehidupan berfilsafat tidak mungkin dirumuskan sebagai suatu keadaan yang bisa dicapai dan, bilamana sudah dicapai, lalu menjadi sempurna… tujuannya terletak pada sifat asli kita untuk terus – menerus dalam perjalanan”.
Tetapi manusia tetap memiliki kebebasan yang sangat luas untuk memilih. Apakah cipta memang punya manusia, atau kebaikan dari Tuhan dimana manusia diberi pula kuasa untuk mencipta. Mungkin kata yang tepat bukan mencipta bagi manusia.
Jadi cipta yang sekarang punya siapa? Ide absolut atau manusia?
Itu saya serahkan kepada anda. Manusia berotak.