Monday, November 24, 2008

BUKAN PINTU



partisi pembatas wudhu di rumah sakit setia mitra. membuat saya bertanya. apakah desain ini memang salah sehingga diperlukan penanda normatif agar pengguna tidak mengira ini pintu? apakah ini benar - benar kegagalan desain? saya benar - benar terganggu.

Friday, November 21, 2008

GSB?



foto ini saya ambil dibelakang plaza semanggi. lebih tepatnya didekat parkiran motor mall tersebut. daerah tersebut merupakan jalan pintas bagi kendaraan roda dua menuju jalan jendral sudirman dari jalan let.jend. gatot subroto. dari foto diatas dapat dilihat rumah sama sekali tidak memiliki GSB (Garis Sempadan Bangunan). keselamatan didalam rumah sedikit terancam karena jalan didepan sering dilalui kendaraan bermotor. resapan air di daerah ini juga menjadi berkurang. inilah dampak dari perencanaan kota yang tidak terencana.

Monday, November 3, 2008



i take this picture from roxy square at west jakarta. look at the dwelling beside cideng river. we can see density at there from that picture. how if we built high rise building for living at there to replace this area and make more quality living at there to support a goverment program about 1000 tower apartement for middle-lower? it can, i now and i hope.

AC

Air Conditioner, apabila di Indonesiakan bernama Pendingin Udara. Alat ini sudah menjadi menu utama dalam menjawab masalah banjir matahari di iklim tropis. Masyarakat modern mengganggap ini adalah cara tercepat untuk menyelesaikan masalah kenyaman thermal didalam ruang. Karena apabila terjadi kenaikan suhu satu derajat saja didalam ruang, kita bisa mengendalikan suhu melalui remote dengan menurunkan suhu untuk mencapai kenyamanan suhu yang kita inginkan.
Tapi tidak sadarkah kita? Kenyaman ruang yang kita dapat dengan sangat cepat dari AC ternyata menjauhkan kita dari realitas bahwa kita memang hidup di daerah tropis? Dampaknya pada desain arsitektur adalah terbentuk desain – desain yang berani menantang matahari, hujan dan kelembapan. Imbas terkini adanya trend desain minimalis. Wuidih…….! Desain yang berakar dari Zen Budhisme ini disalah artikan di Indonesia. Beban berat bagi bangunan itu untuk melawan alam tropis Indonesia.
Manusia, khususnya yang berada dalam taraf mampu, mengalami ketergantungan yang amat sangat terhadap AC. Sehingga rumah atau bangunan dengan fungsi publik seperti kantor, museum, mall, dan lain – lain dibangun dengan begitu sombongnya terhadap alam. Desain sangat berani bertubrukan dengan panas dan hujan sehingga akibat yang dirasakan adalah tagihan listrik meningkat. Alam, tanpa kita sadari memiliki energi perusak yang lebih besar dari manusia loh…! Kita, tanpa sadar menggerogoti keseimbangan terhadap alam.
AC memang menghasilkan udara sejuk didalam ruang, tapi mesin pendingin udara juga menghasilkan panas akibat energi yang terbuang. Panas tersebut ditampung di lingkungan sekitar dan menyebabkan panas mikro di sekitar mesin ac. Itu baru di satu mesin pendingin udara. Bayangkan rata – rata satu rumah memiliki tiga pendingin udara. Kita makrokan lagi, dikawasan perumahan tersebut terdapat seribu rumah yang memakai tiga pendingin udara. Berarti ada tiga ribu mesin pendingin udara yang aktif. Kemudian di kawasan tersebut terdapat empat kawasan perumahan, berarti ada dua belas ribu mesin pendingin udara aktif yang kesemuanya selain menyumbangkan kesejukan udara bagi ruang didalam rumah juga menyumbangkan panas bagi lingkungan sekitar. Itu belum termasuk kawasan perkantoran di Sudirman dan Thamrin dan masih banyak lagi kawasan bisnis di Jakarta yang amat sangat tergantung oleh AC. Itu belum kita kalkulasikan dengan keseluruhan bangunan di Jakarta yang memakai AC, itu juga belum daerah – daerah lain seperti Bandung, semarang, Surabaya, Sidoarjo, Klaten, Sragen, New York, Dubai, dan kota – kota yang lain. Berarti kita tidak boleh mengeluh kenapa udara Jakarta bertambah panas kan? Lepas dari isu pemanasan global, yah kita – kita juga sebagai arsitek menyumbangkan panas karena desain kita yang sombong.
Jadi secara langsung mesin AC juga menjadi penyumbang panas langsung secara makro bagi Jakarta, karena manusia lebih memilih teknologi yang tidak dapat dipungkiri sangat mensejahterakan manusia bernama AC, daripada desain yang tepat untuk menangkal ganasnya sinar matahari iklim tropis yang lepas dari ketergantungan energi.
Coba kita berpikir jauh kedepan. Apabila energi habis, pendingin udara pasti tidak akan ada gunanya. Apa kabar bangunan yang menantang alam tadi? Pasti tidak akan ada yang menghuni karena tidak ada pendingin udara lagi di dunia ini yang bisa dipakai, atau mungkin bangunan itu akan dibongkar untuk menyesuaikan dengan iklim tropis setempat? Kemudian bagaimana dengan bangunan yang tanggap iklim? Pastinya penghuninya tenang – tenang saja karena kenyaman suhu didalam ruang telah dia dapatkan tanpa bantuan pendingin udara.
Saya sangat setuju dengan pernyataan Bapak Ridwan Kamil, dan misi luhur Bapak Adi Purnomo. Kita harus rela berkeringat, rela berpanas – panasan, rela mandi dua kali atau bahkan tiga kali sehari untuk menghilangkan gerah.Ya karena kita hidup didaerah tropis. Selain untuk menghemat tagihan listrik karena pemakaian AC ya juga untuk memikirkan bagaimana desain yang baik bagi iklim tropis Indonesia dengan merasakan berpanas – panasan sebagai tanggung jawab kita sebagai arsitek iklim tropis, disamping juga ikut menambah area hijau pada pekarangan rumah kita tentunya. Saya mengutip dari Alvar Alto “wir brauchen die nature, die nature braucht uns nicht” (kita memerlukan alam tetapi alam tidak bergantung kepada kita). Semoga bisa menjadi tambahan pemikiran, bukan tambahan keluh kesah karena udara yang semakin hari semakin panas. Gerah ah…ngipas dulu….!