Wednesday, January 30, 2008

Malin

Malin

Malin terbangun dari sujud sembahnya yang muram. Dengan raga berbentuk batu yang didapat dari kutukan ibunya. Ditemani malam gelap dingin, sunyi, dan sepi hanya ditemani riuh rendah bunyi jangkrik dan kelap kelip kunang – kunang dia menatap bulan purnama. Bukan bulan yang dikagumi. Dia teringat ibunya.
Malin rindu. Ya...rindu. Rindu akan suatu kasih sayang. Dari ibu. Seperti kita yang juga sama seperti malin. Bisa merindu. Hanya malin sekarang terbuat dari batu. Kita tak usah mengganggu malin sekarang. Tapi apa yang kita rindukan sekarang? Samakah seperti malin? Atau kita merindukan yang lain? Seorang wanita atau pria ideal mungkin? Seonggok harta barangkali? Sebuah berhala bisa jadi? Atau rindu akan seorang yang peduli? Atau kesemuanya? Rakus. Jangan.
Bila kita menjadi rakus apa mau tetap menjadi peduli? Banyak sekali orang merindukan si peduli. Yang mau menengok bila ada yang membutuhkan. Bahkan ketika tidak dibutuhkan. Seperti Muhammad, Yesus, Sidharta, gandhi. Tapi kenapa kesemua tokoh spiritual? Apa yang cukup beragama saja atau bahkan yang tidak beragama tidak? Jangan tanya saya. Kita hanya kenal yang terkenal. Yang tidak mencolok bisa kita tidak tengok. Manusia harus rela. Tidak terkenal bukan menjadi halangan jadi peduli, untuk welas asih. Paling tidak semampunya.
Rindu itu sebuah anugerah. Entah diberi oleh siapa. Dari yang kita rindukan kah? Dari hormon yang terproses dari tubuh kah? Atau dari Tuhan kah? Tetap hanya bisa dinikmati terus dinikmati sampai hilang dengan sendiri. Atau kita usahakan untuk dibutuhi. Rindu Cuma bisa dirasa oleh manusia. Apa kalian bisa bisa merasakan anjing yang rindu? pohon yang kangen?
Mao zedong bukan sosok yang dirindu. Dia membantai ribuan orang dalam revolusi kebudayaan di cina. Menjadikan pemuda sebagai alat untuk menyingkirkan lawan – lawan politiknya. Chrisye sudah berpulang, serindu apapun kita padanya kita hanya bisa mengirim doa. Kita bisa melepaskan hasrat rindu dengan mendengarkan suaranya cukup dari kaset saja. Gesang sedang sakit di solo tidak ada yang menengok. Apa tidak ada yang merindukannya? Kasetnya tidak dijual di toko kaset. Terakhir terlihat di TVRI. Itupun sudah puluhan tahun yang lalu.
Serindu apapun manusia terhadap manusia sangat disayangkan bila hanya menghasilkan sebuah kenihilan. Kenihilan yang membuat perindu diam. Tidak menggerakkan kehidupannya dan hanya berada disitu – situ saja. Konteks ini mungkin tidak hanya pada manusia, bisa yang lain. Tapi toh tetap dijalankan kenihilan itu. Kenihilan juga bukan hanya berasal dari rindu. Rindu adalah kenikmatan yang bisa diakhiri. Karena bukan kenikmatan yang abadi yang dibawa sampai mati dan juga bukan suatu kewajiban yang harus dijalani. Kita bisa pergi dari rindu kalau memang merasa itu sudah cukup. Karena hidup terus berlanjut. Dan rindu hanyalah bagian dari manisnya hidup, yang bisa didepak jika sudah dianggap mengganggu atau tidak berujung pangkal. Hidup bukan hanya merasa manis. Mungkin kita sudah tahu itu.
Hei lihat.... Kasihan malin. Ditengah rindunya yang tidak akan terkabul dia harus menyembah kembali meminta ampun. Dipinggir pantai dengan angin yang semilir dia kembali membatu karena hari menjelang pagi. Tapi dia tetap rindu. Rindu sama ibu.

No comments: