Wednesday, January 30, 2008

Bertanya Cipta

Bertanya Cipta

Apakah mencipta milik Tuhan atau manusia? Fredrich Wilhelm Nietzsche sampai mematikan Tuhan agar manusia bisa bebas mencipta. Tanpa harus berpikir tentang dosa, manusia pun bisa mencipta tanpa bayang – bayang sesosok Tuhan dan memang dia adalah seorang atheis. Tuhan dianggapnya tidak ada dan sudah dimatikan didalam benaknya sehingga manusia adalah obyek dari pemikirannya tanpa suatu campur tangan Tuhan. Tapi siapa tahu? Itu pernyataan ekstrem yang dikemukakan dari orang yang kesepian dari cerita buku fuad hasan. Yang berujung kegilaan. Sangat menakutkan mungkin buku yang dikarangnya bagi orang – orang yang tidak mau berpetualang dalam dunia pikir.
Pikiran saya terganggu tentang kita, manusia yang bisa membuat mobil, telepon genggam, pakaian, flashdisk dan semua kebutuhan yang dibuat memang semata – mata untuk manusia itu sendiri. Walaupun disini saya kagum dalam posisi sebagai pengguna. Alat yang diadakan untuk mempermudah kehidupan kita sebagai manusia. Dibuat dengan manusia sebagai pembuat, pengguna dan penikmatnya. Kekaguman yang begitu besar dari lubuk hati saya melihat sebuah karya yang berasal dari otak. Segala asal semua berasal. Dimana didalamnya terdapat khayal, imajinasi, ilmu pasti, mimpi yang memungkinkan semua ada dan menjadi mengada. Menjadi esensi lebih tepatnya alat – alat itu menurut Jean Paul Sartre. Yang menjadi pertanyaan mendasar sebagai bahan pemikiran kita semua adalah manusia yang menciptakah sebagai suatu eksistensi? atau dari Tuhan kah semua hasil cipta itu sebagai Sang Pencipta?
Semua berasal dari hasil peradaban bukan dari kebudayaan, dan ini bukan pendapat saya. Membicarakan relevansi antara mencipta dengan peradaban dan kebudayaan, kita lihat perbedaannya dari pengertian peradaban dan kebudayaan, Nicholas Alexandrovitch Berdyaev memiliki pengertian yang menarik. “Baginya peradaban merupakan perwujudan dari ikhtiar manusia untuk menanggapi keharusan – keharusan yang dituntut oleh alam. Peradaban adalah karya manusia sendiri untuk memenuhi tuntutan alamiah yang dihadapinya. Kebudayaan juga merupakan hasil karya manusia, tetapi hal ini berhubungan dengan kebutuhan spiritualnya” kesimpulan Berdyaev ini saya kutip dari Fuad Hasan pada bukunya ”Berkenalan Dengan Eksistensialisme”. Apa yang kita rasa adalah produk dari sebuah peradaban yang terus berkembang dan kebudayaan adalah bentuk dari religiusitas kita sebagai manusia yang merindukan pertemuan dengan Tuhan. Yang saya pertanyakan apakah alat – alat kita yang dihasilkan sampai sekarang ini didapat dari kerja keras manusia atau memang sudah jalan manusia dari Tuhan untuk kemudian diberi kenikmatan seperti sekarang ini?
Menurut pemikiran saya dengan melepaskan diri saya dari sejarah umat manusia menurut agama yang saya anut dan saya ketahui dimana saya hanya menggunakan analisa sampah, manusia diturunkan ke dunia sebagai orang yang dungu dan bodoh yang dipaksa harus menjawab tantangan dari alam. Dengan hadir di dunia dengan hanya bermodal sifat kebinatangan karena kita belum belajar. Kemudian proses dari tidak tahu menjadi tahu terjadi. Proses ini terus berlanjut hingga sekarang dan belum berhenti. Atau lebih singkatnya dialektika mengutip kata temuan frederick engels.
Dalam hal pengertian sampah saya tentang materialis dan idealisme mencampur. Manusia diturunkan oleh Tuhan dan dilepas seperti anak ayam yang tidak punya induk. Berusaha sendiri dan memilih jalan kehendaknya sendiri. Kita bebas sejak turun ke dunia bahkan saat menjalani hidup di dunia. Tetapi saya sendiri tidak bisa lepas dari suatu ide absolut. Penyatuan materialisme dan idealisme mencampur disini dilihat dari kalimat saya tentang diturunkannya manusia oleh Tuhan. Manusia masih diurusi oleh Tuhan tetapi selebihnya kita diberi kebebasan bahkan kuasa pada ciptaannya. Sampai – sampai mempertanyakanNya pun kita diizinkan.
Dimana Tuhan menurut kalangan materialis mungkin masih dipertanyakan. Tetapi ada pandangan dari Karl Jaspers seorang eksistensialis yang juga bisa menjadi pertimbangan, dia menulis ” makin sejati kebebasan seseorang, makin kuat kepastiannya tentang Tuhan. Kalau saya sungguh – sungguh bebas, saya menjadi pasti bahwa saya tidak bebas karena saya sendiri.”
Pertentangan akan hal idealisme dan materialisme memang sangat sulit untuk didamaikan dimana saya pun berada dibenak melayang yang tidak berani untuk menjawab tetapi terus mencari seperti Karl Jaspers yang tidak ingin mencapai titik sudah. Dimana pernyataan Karl Jaspers “tujuan suatu kehidupan berfilsafat tidak mungkin dirumuskan sebagai suatu keadaan yang bisa dicapai dan, bilamana sudah dicapai, lalu menjadi sempurna… tujuannya terletak pada sifat asli kita untuk terus – menerus dalam perjalanan”.
Tetapi manusia tetap memiliki kebebasan yang sangat luas untuk memilih. Apakah cipta memang punya manusia, atau kebaikan dari Tuhan dimana manusia diberi pula kuasa untuk mencipta. Mungkin kata yang tepat bukan mencipta bagi manusia.
Jadi cipta yang sekarang punya siapa? Ide absolut atau manusia?
Itu saya serahkan kepada anda. Manusia berotak.

No comments: