Saturday, September 20, 2008

Manusia Wacana

Begitu membludaknya tercipta manusia dengan perilaku gumam. Membludak, hampir seperti volume air laut di jagat. Walaupun hanya sebuah majas hiperbola. Dimana kepala satu bergumam ke kepala satu yang lain atau bahkan ke banyak kepala. Gumam tidak pernah habis. Setiap kepala bergumam. Gumam ini, gumam itu, gumam sana, gumam sini. Gumam hanya terlempar – lempar seperti olah raga bola. Pindah kesana, pindah kesini, melambung kemari. Berebut untuk bergumam. Gumam pun bisa bingung karena kenapa si gumam harus terus bergumam. Itu – itu saja. Dia tidak menghasilkan apa – apa. Tidak merubah skor. Tidak bertemu kemenangan dan tidak berpapasan dengan kekalahan. Siapa kepala – kepala gumam itu? Si A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T, U, V, W, X, Y, Z? Kita pun tak tahu. Cukup bisa terjawab di hati yang tidak pernah bohong. Itupun masih mungkin.
Mengapa mereka tercipta? Untuk meramaikan dunia barangkali. Menciptakan dunia seimbang. Tapi apabila terlalu banyak hanya kan membuat beku. Dimana kita hanya berputar di dalam gumam kita sendiri dan ke orang lain yang juga seorang penggumam. Dalam wujud wacana. Tiap kepala Cuma bergumam. Menginginkan. Tapi tidak melakukan. Apakah tidak rindu kalian menjodohkan gumam dengan yang lain. Gumam berkekasih dengan tindak. Ketika gumam bersetubuh dengan tindak dia akan membuntingi anak dengan nama hasil. Hasil yang mempunyai nama panjang. Bisa hasil buruk, hasil jelek, hasil gitu, hasil gini, tidak ada hasil, hasil tak sampai, berhasil, dan lain – lain.
Dunia butuh gumam.butuh sebuah wacana. Karena wacana itu membuat kita merasa. Tapi apalah daya. Kita tidak bisa tahu siapa yang menjadi manusia wacana. Apakah kita sudah pantas menjadi manusia wacana? Bisakah kita menolak menjadi manusia wacana? Karena kita bisa melakukan. Tapi tetap terbius dengan wacana, dengan gumam yang bisa saja kita telan sendiri. Tercerna di dalam kata, tapi tersumbat tak keluar. Banyak sekali manusia – manusia yang bisa bertindak. Tapi mereka hanya bergelayutan di akar gantung wacana, yang kuat, kokoh, tak bergerak. Mereka menolak bertindak, ibarat barang najis yang tak mau dipegang. Kotor. Haram. Seperti berteman dengan setan.
Apakah ini hanya akan menjadi sebuah wacana? Lewat begitu saja. Terlupa begini saja. Habis. Karena apabila harus jujur. Inipun hanya sebuah wacana.

No comments: